beranda, ruangekspresi

Tembok China Mulai Runtuh?

Lee Chong Wei, tunggal putra andalan Malaysia, kembali harus berhadapan dengan wakil China lainnya, Chen Long, di babak final Olimpiade Rio 2016. Tiga final Olimpiade berturut-turut dirasakan Chong Wei dengan harus berhadapan wakil China di babak puncak, mungkin bak tembok China, tunggal Malaysia itu belum mampu menembusnya hingga kesempatan olimpiade terakhirnya di tahun ini.

Walaupun, pada semifinal, Chong Wei sudah menghabisi pesaing utamanya Lin Dan dalam pertandingan sengit rubber set 15-21, 21-11, 22-20. Namun, keberhasilan membungkam Super Dan itu ternyata belum menjadi sebuah sinyal Chong Wei mampu tembus tembok China.

Chen Long berhasil mengalahkan tunggal Malaysia itu lewat dua set langsung 21-18,21-18 dalam waktu 1 jam 14 menit. Hasil itu membuat Chen menjaga rekor emas olimpiade tunggal putra yang selalu diraih China sejak gelaran Olimpiade 2008 silam.

Meskipun, China berhasil meraup emas terbanyak dalam gelaran olimpiade di Negeri Samba, tetapi kali ini Negeri Tirai Bambu mencatatkan penurunan prestasi yang drastis.

Datang sebagai negara yang diwakilkan oleh atlet terbanyak dalam cabang bulutangkis, China hanya mampu meraup dua emas.

Beberapa potensi untuk bisa meraih emas pun lenyap, salah satunya potensi All China Final pada sektor  ganda campuran.

Dalam semifinal ganda campuran, China diwakilkan dua pasangan yaitu, Zhang Nan/Zhao Yun Lei dan Xu Chen/ Ma Jin. Sayangnya, Zhang/Zhao berhasil dihentikan langkahnya oleh pasangan andalan Indonesia Tontowi Ahmad/Lilyana Natsir, sedangkan Xu/Ma secara mengejutkan dikandaskan pasangan Malaysia Chan Peng Soon/ Liu Yin Goh. Alih-alih bisa All China Final, tetapi malah All China dalam perebutan medali perunggu.

Begitu juga pada sektor tunggal putri, China yang diwakilkan Wang Yihan dan Li Xuerui yang diplot sebagai unggulan dua dan tiga gagal menembus final. Yihan sebagai unggulan kedua sudah tamat nasibnya di Olimpiade pada perempat final di tangan tunggal putri India Pusarla V. Sindhu.

Li Xuerui sebagai peraih emas bulutangkis sektor tunggal putri di Olimpiade London 2012 pun dikandaskan tunggal Spanyol Carolina Marin. Dalam perebutan medali perunggu, Li Xuerui pun gagal setelah kalah walk over karena cedera.

Pada sektor  ganda putri, China pun tampak kurang beruntung setelah dari dua wakil, hanya satu yang berhasil lolos ke fase gugur. Duo Luo, Luo Ying/Luo Yu gagal lolos dari fase grup setelah bertengger di posisi tiga karena kalah selisih perolehan poin dengan dua pasangan lainnya dari Denmark dan Korea Selatan.

Adapun, Yu Yang/ Tang Yuanting, yang menjadi wakil China di ganda putri juga gagal melaju ke final setelah dikandaskan pasangan Denmark Christina Pedersen/Kamilla Rytter Juhl dalam pertandingan sengit 26-28, 21-18, 15-21.

Dalam kekalahan itu, Yu Yang sempat terlihat emosi kepada pelatihnya. Dalam sebuah video singkat di instagram, Yu Yang membanting handuknya sambil berteriak dengan Bahasa Mandarin di depan pelatihnya.

Yu Yang/Yuanting pun juga gagal memperoleh medali perunggu setelah dikalahkan pasangan Korea Selatan Jung Kyun Eun/Shin Seung Chan dengan mudah dua set langsung 8-21, 17-21.

Wajah China masih terselamatkan dari malu setelahh ganda putra andalannya, Fu Haifeng/Zhang Nan berhasil menambah pundi-pundi medali emas. Fu/Zhang meraih emas setelah mengalahkan pasangan Malaysia V Shem Goh/Wee Kiong Tan dalam rubber set 16-21, 21-11, 23-21.

Hasil di Rio de Janiero itu untuk cabang bulutangkis bagi China adalah yang terburuk sejak Olimpiade Sydney 2000. Pasalnya, sejak Olimpiade 2000 sampai 2012, China minimal dapat meraih tiga emas. Lebih gemilang pada 2012  setelah China berhasil menggondol lima emas dari seluruh sektor saat itu.

Hasil ini menunjukkan beberapa negara lain seperti Jepang, India, Thailand, Malaysia, dan lainnya terus mengembangkan pemain-pemain bulutangkis mereka. Dominasi China pun sebenarnya mulai terkikis di semua kompetisi sejak awal tahun ini. Pergantian generasi mungkin bisa menjadi salah satu penyebabnya, tetapi Negeri Tirai Bambu pun tampaknya sudah menyiapkan beberapa pemain muda lainnya yang siap menggantikan seniornya.

Setelah Olimpiade Rio 2016 ini, apakah dominasi China pada olahraga bulutangkis terus terkikis atau mampu bangkit? kita tunggu siapa aktor ataupun aktris yang mampu merobohkan tembok China. Mungkin saja F3 Indonesia, Ihsan Maulana, Jonathan Cristhie, atau Antoni Ginting menjadi salah satu yang mampu merobohkan tembok China, terutama di sektor tunggal putra yang saat ini dikuasai Chen Long.

Standar
beranda

Bintang Kembali Bersinar Kala Senja

Puasa gelar sempat melanda pasangan andalan Indonesia di sektor ganda campuran Tontowi Ahmad/Lilyana Natsir sepanjang 2015. Pasangan Indonesia itu sempat memutus rantai puasa gelar pada tahun ini setelah berhasil juara pada Malaysia Terbuka 2016.

Secercah harapan kebangkitan pasangan andalan mulai muncul, tetapi Tontowi malah menyulut emosi Rexy Maniaky karena komentarnya pasca kalah pada babak kedua Indonesia Terbuka 2016 dari pasangan Denmark Kim Astrup/Line Kjaersfeldt dua set langsung 19-21, 17-21.

Owi, -sapaan akrab Tontowi- saat itu berkomentar kekalahannya tersebut disebabkan oleh tekanan dari pihak Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) agar bisa menjadi juara di gelaran turnamen internasional tanah air tersebut.

Saya pun sempat pesimis dengan pasangan andalan ganda campuran Indonesia itu, terutama setelah komentar Owi terkait tekanan menjadi juara. Pasalnya, tujuan untuk mengikuti sebuah turnamen adalah menjadi juara, jadi tekanan itu mungkin wajar. Komentarnya [Owi] seperti menunjukkan dia sudah tidak punya semangat bertanding atau bahasa Inggrisnya fighting spirit.Walaupun bisa jadi, saat itu dia tengah lelah dan jenuh.

Owi/Butet, sapaan -Lilyana- pun saya ibaratkan bak bintang yang mulai meredup di kala senja. Apalagi, bila dilihat dari tren raihan gelar sejak pasangan ini mulai bersama pada 2010 silam.

Pada 2010, Owi/Butet berhasil menggondol dua gelar dari seluruh kompetisi. Setahun berikutnya, ganda campuran Indonesia itu menambah pertumbuhan gelar menjadi tiga pada semua kompetisi. Kemudian, pada 2012, pasangan andalan ini kian agresif dengan menggondol enam gelar disebuah kompetisi di mana tiga diantaranya kelas super series dan super series premier.

Namun, pada 2013 sedikit menunjukkan penurunan setelah berhasil menggondol lima gelar, termasuk satu di antaranya gelar juara dunia. Tren penurunan berlanjut pada 2014 setelah hanya berhasil membawa tiga gelar semua kompetisi. Penurunan terburuk saat puasa gelar sepanjang tahun lalu.

Namun, ketika melangkah ke Olimpiade Rio 2016, pasangan yang saya sebut sudah meredup itu seolah mulai memancarkan sinarnya kembali di kala senja.

Pada fase grup, Owi/Butet menggeber setiap pukulannya hingga berhasil mencatatkan tiga kemenangan tanpa pernah kalah sekalipun. Semua pertandingan di libas dalam dua set langsung.

Memang dari segi lawan, di atas kertas jauh di bawah pasangan Indonesia tersebut. Sebut saja ada pasangan Australia Robin Middleton/Leanne Cho dilibas 21-7, 21-8. Selain itu, ada pasangan Thailand Bodin Isara/Savitree Amitrapai dikalahakan 21-11,21-13, dan terakhir pasangan Malaysia Peng Soon Chang/Liu Ying Goh dikandaskan 21–15, 21-11.

Pada babak perempat final, perang saudara antar pasangan Indonesia terjadi. Owi/Butet harus menghadapi Praveen Jordan/Debby Susanto. Owi/Butet berhasil menyingkirkan saudaranya sendiri dua set langsung 21-16, 21-11.

Semifinal menjadi Final yang terlalu dini setelah Owi/Butet harus menghadapi saingannya dari China Zhang Nan/Zhao Yun Lei. Dalam hampir lebih dari setahun lebiih, pasangan andalan Indonesia itu kerap  kesulitan menang dari ganda campuran nomor satu dunia asal Negeri Tirai Bambu tersebut.

Namun, seolah ada tekad kuat menutup olimpiade untuk Butet yang terakhir, mereka [Pasangan Indonesia] bermain lebih trengginas. Pasangan nomor satu dunia itu pun dilibas dua set langsung 21-16, 21-15.

Di babak puncak, Owi/Butet kembali bertemu pasangan Malaysia yang sempat dilibas pada fase grup, Peng Soon Chang/Liu Ying Goh. Di atas kertas, pasangan Malaysia itu selalu kesulitan menghadapi Owi/Butet, tetapi melihat historisnya di olimpiade kali ini, terutama pada semifinal saat Peng Soon/Liu Goh berhasil kandaskan andalan China lainnya Xu Chen/ Ma Jin.

Deg..deg..deg itu saat persiapan menonton final bulutangkis ganda campuran Olimpiade Rio 2016. Sempat kesal dengan sinetron yang ditayang stasiun televisi resmi penayang Olimpiade, saat Owi/Butet dan pasangan Malaysia memulai pemanasan cukup berdebar bagi saya yang penonton.

Susi Susanti, legenda bulutangkis Indonesia, yang juga menjadi komentator pertandingan final kali ini pun sempat menyebutkan nama Owi adalah Tontowi Yahya, bekas pembawa acara yang menjadi anggota DPR. Entah sang legenda ikut bedebar, terlalu bersemangat, atau bernostalgia saat dia meraih emas di Olimpiade Barcelona 1992.

Di lapangan, pemain Malaysia begitu tampak tegang, Owi/Butet pun tampak tegang. Butet kerap ingatkan untuk Owi ‘Fokus’ dan Tontowi pun terus mengingatkan kepada Butet untuk lebih tenang.

Namun, ketegangan dan tekanan tampaknya lebih terasa pada pasangan Malaysia. Peng Soon kerap gugup bila harus memberikan service kepada Owi. Liu Goh pun kerap melakukan kesalahan sendiri yang menguntungkan pasangan Indoensia.

Yak, 45 menit pertandingan pun selesai, Owi/Butet pun berhasil menang dua set 21-14,21-12 yang berarti sepanjang turnamen pasangan Indonesia itu belum pernah kalah setiap setnya. Emas pun diraih, Indonesia Raya pun menggema di Negeri Samba.

Bintang yang meredup kembali bersinar di kala senjanya.

Standar