beranda, selingan

Mitos Emak-Emak Stasiun Tanah Abang

Tanah Abang, ketika mendengar kalimat itu yang terlintas dipikiran adalah jual pakaian grosir dan murah. Pasalnya, di sana ada pasar Tanah Abang yang sudah terkenal dan kerap di guyon dengan bahasa asing menjadi Brother Land.

Ketika, saya mengatakan Tanah Abang dengan kalimat bahasa asing, seorang teman sempat mengoreksi. Dia menegaskan kata Abang dalam Tanah Abang bukan bermakna kakak laki-laki seperti yang saya maksud.

“Abang disitu artinya merah, jadi makna tanah abang tuh tanah merah karena di sana dulu tanahnya merah. Kalau diasingkan jadi Red Land,” ujarnya kala itu.

Namun, kini permasalahannya bukan terkait sejarah nama tanah abang itu, tetapi mengenai mitos keganasan ibu-ibu di stasiun tanah abang.

Mitos ini menjadi candaan saya sejak rajin menggunakan Commuterline, kereta listrik yang dikelola PT Kereta Api Indonesia (Persero).

Buktinya, kejadian saat siang beberapa waktu lalu, sekitar pukul 15:00 WIB. Dari stasiun Duri, saya menaikki kereta listrik itu dengan damai karena kosong dan mendapatkan tempat duduk pula.

Dari Duri, kereta listrik itu pun berjalan menuju Stasiun Tanah Abang, ketika akan berhenti entah ada perasaan kurang mengenakkan sehingga saya berdiri ke dekat pintu yang berlawanan dengan peron di Stasiun Tanah Abang.

Pintu kereta listrik pun terbuka, dari jendela tampak puluhan mendekati ratusan ibu-ibu menunggu pintu itu terbuka sempurna.

Setelah pintu terbuka sempurna, mereka [ibu-ibu] langsung berlari masuk tanpa peduli dengan penumpang yang ingin turun. Sambil membawa barang belanjaan yang bisa seplastik besar, mereka bisa bergerak lincah demi bisa mendapatkan tempat duduk.

Menariknya, saat itu ada satu seorang ibu masih segar sambil membawa plastik belanjaannya berlari untuk bisa menduduki kursi yang dipenglihatannya kosong.

Sebelum dia berhasil menduduki kursi itu, ternyata ada seorang nenek yang lebih gesit dan duduk terlebih dulu dibandingkan dengan ibu-ibu tersebut.

“Heh, ini saya duluan yang duduk,” tiba-tiba si ibu yang lebih muda teriak dan marah-marah ke nenek tersebut.

“Pokoknya, tadi saya duluan yang duduk di sini,” ujarnya tanpa melihat lawan bicara yang diomelinnya.

Suasana dalam gerbong itu sontak terdiam sampai ada perempuan yang di samping nenek itu mencolek si ibu yang lebih muda dan memberitahu kalau itu nenek-nenek. Si perempuan yang lebih muda ini pun berdiri sehingga si ibu yang sempat memaki si nenek itu juga mendapatkan duduk.

“Oh si nenek, yaampun, maaf ya nek, saya enggak lihat tadi,” ujar si ibu yang lebih muda sambil senyum tersipu malu serta mengelus-elus pundak si nenek.

Meskipun, si nenek itu tidak berkomentar apapun, tetapi dari raut wajahnya tampak kesal sekali.

 

Sebelumnya, saya sendiri pernah mengalami kejadian dengan emak-emak dari Stasiun Tanah Abang. Kala itu, kereta dari arah Tanah Abang mau menuju Jatinegara berhenti di Duri. Berhubung saya akan pulang ke arah Tangerang, jadi terpaksa transit di Stasiun Duri.

Saat itu memang sedang padat, maklum Minggu sore banyak yang baru pulang wisata antar kota. Sambil berdiri menunggu kereta listrik arah Jatinegara jalan untuk bisa menyebrang ke peron kereta yang menuju Stasiun Tangerang, saya memilih diam saja, beberapa penumpang ada yang berupaya mencari celah agar bisa mengantri paling depan.

Kereta listrik arah Jatinegara pun jalan, antrian mulai bergerak. Tiba-tiba saya dikejutkan oleh sesosok ibu-ibu yang berteriak di belakang saya.

“Mas, jangan dorong-dorong dong, jatuh nanti saya. Tolong mas, jangan dorong-dorong,” teriaknya.

Posisi antrian saat itu, di belakang saya ada ibu-ibu, lalu di belakang ibu-ibu itu ada perempuan muda. Akhirnya, seketika mata penumpang lainnya ke arah saya.

“Mas, jangan dorong-dorong ya, jatuh saya,” teriaknya lagi, kali ini sambil mendorong-dorong saya.

Saya pun hafal wajah si ibu, dia naik dari Stasiun Tanah Abang karena satu gerbong saat menuju Stasiun Duri.

Dari situ, saya bersimpulan ibu-ibu yang berteriak tadi ibarat Amerika Serikat (AS). Dia yang berteriak seolah menderita, padahal dia pelaku yang membuat negara lain menderita.

Meskipun begitu, seganas apapun ibu-ibu di Stasiun Tanah Abang, surga tetap di telapak kaki ibu.

 

 

 

 

Standar
beranda, selingan

‘Petite Histoire’ Khotbah Jumat Tentang Perempuan

Sambil mengantuk, saya mencoba memejamkan mata sambil menunggu khotbah shalat Jumat selesai. Saat itu, saya shalat Jumat di masjid Bank Indonesia dengan kondisi perut lapar karena berangkat liputan sekitar pukul 06:30 WIB.

Di tengah lamunan sambil memejamkan mata, sedikit demi sedikit saya mendengarkan cerita menarik dalam Khotbah Jumat kali ini. Biasanya, berhubung beberapa waktu ke belakang sedang ramai Pilkada, Khotbah Jumat pun berbau politik sehingga lebih memilih untuk memejamkan mata sejenak.

Jadi, teringat obrolan dengan salah satu Direktur Utama bank syariah, dia mengatakan untuk mendorong pangsa pasar  perbankan syariah, ada satu strategi yang ampuh, yakni lewat khotbah Jumat.

“Daripada Khotbah Jumat bahasnya politik terus, setidaknya sebulan dua kali diajak dan edukasi agar dalam transaksi dan menabung bisa hijrah dari bank konvensional ke syariah,” ujarnya sambil tersenyum kala itu.

Kembali lagi kepada topik Khotbah Jumat saya kala itu, sang Khotib, penceramah, membahas terkait pelecehan seksual kepada perempuan. Sebagai pembuka, sang penceramah memaparkan deksripsi pandangan masyarakat terkait perempuan yang mengalami pelecehan.

Di mata masyarakat, perempuan yang mengalami pelecehan seksual disebut tidak ditentukan oleh pakaiannya. Beberapa bukti disebutkan kabarnya yang menggunakan jilbab pun bisa terkena pelecehan.

Kejadian itu pun diamini oleh si penceramah, tetapi hal itu bukan berarti perempuan bisa bebas dan lebih baik berpakaian terbuka.

Dia menjelaskan alasan kenapa perempuan yang sudah menutup aurat dan menggunakan jilbab panjang masih mengalami pelecehan seksual. Dengan penekanan kalau yang diucapkannya itu berasal dari riset kelompok feminis sebuah negara di Eropa, salah satu penyebabnya adalah persepsi perempuan dengan jilbab dan menutup auratnya hingga rapat itu terkesan cenderung perempuan yang pasif.

Dalam riset itu disebutkan, perempuan pasif menjadi objek utama untuk menjadi korban pelecehan seksual, sedangkan perempuan dengan pakaian terbuka lebih terkesan aktif karena lebih cuek, berani, dan mampu melawan.

Nah, di sini persoalannya, dalam riset itu disebutkan, pelaku pelecehan sudah terangsang ketika melihat perempuan dengan baju terbuka, tetapi dengan persepsi perempuan baju terbuka lebih aktif membuat si pelaku cenderung mengurungkan niatnya,” ujarnya sambil berkhotbah.

Dia melanjutkan, lalu untuk memuaskan hasratnya yang sudah terangsang setelah melihat perempuan dengan pakaian terbuka, si pelaku pelecehan pun mencari korban yang lebih pasif agar lebih mudah.

“Kesan perempuan berjilbab yang lebih pasif membuatnya menjadi salah satu sasaran pelecehan. Berarti, dengan begitu, perempuan dengan pakaian lebih terbuka justru bisa membahayakan perempuan lainnya,” lanjutnya.

Kutipan terakhir itu mungkin bisa menjadi perdebatan panjang seperti berbicara cerita perempuan seolah yang disalahkan karena menggunakan pakaian terbuka sehingga membuat lawan jenisnya terangsang.

Dalam penutup khotbah Jumat kala itu, bukan berbicara siapa yang salah dari kasus pelecehan seksual kepada perempuan, tetapi lebih saling mengingatkan kepada sesama umat (muslim) maupun sesama manusia kalau setiap perbuatan bisa berdampak sistemik kepada manusia-manusia lainnya.

“Untuk itu, penting sekali komunikasi agar saling mengingatkan satu sama lain sesama manusia,” tutupnya dalam Khotbah Jumat kala itu.

Komunikasi itu pun bukan berarti hanya kepada perempuan yang harus tidak mengumbar-umbar bagian tubuhnya, tetapi juga komunikasi kepada pria baik secara lembut maupun keras untuk saling menghormati satu sama lain. (kalimat detailnya lupa, intinya seperti itu), jadi bukan serta merta cerita di atas menyalahkan salah satu kelompok.

Lagipula, terkadang kalau dipikir-pikir pakaian perempuan yang lebih minimalis harganya bisa lebih mahal ketimbang pakaian yang berukuran biasanya.

Contoh yang paling saya suka ejek adalah terkait celana jeans robek-robek kok harganya bisa lebih mahal dari celana jeans biasa. Kalau dipikir-pikir dari segi efisiensi, lebih baik beli celana jeans biasa dulu, pakai terus setiap hari dan sering dicuci sampai nanti secara alami tercipta robekan di jeans tersebut.

Jadi, beli barangnya lebih murah, kemudian daya tahan kegunaannya bisa lebih lama. Jadi, setidaknya pengeluaran untuk beli jeans tambahan bisa ditahan sehingga lebih efisien.

 

 

 

 

 

 

 

Standar
beranda, selingan

Secuil Kisah Pengemudi Jasa Transportasi Online

Mobil Nissan March berwarna merah berhenti di depan pagar rumah saya, ternyata dia adalah supir Grabcar, salah satu aplikasi layanan transportasi online, yang sudah dipesan.

“Yang ke Balai Kartini kan?” tanya pria paruh baya tersebut.

Setelah masuk ke dalam mobil dan mulai berangkat, saya pun iseng bertanya alasan data jenis dan plat mobil yang diaplikasi berbeda dengan yang sebenarnya.

Tiba-tiba bapak yang sudah cukup berpengalaman menjadi supir, terutama taksi gelap di Bandara Soekarno Hatta itu, langsung bercerita panjang.

“Cicilan mobil Avanza saya mandeg, jadi sudah ditarik leasing. Ini sistem Grabcar kejam, sulit mau balik modal buat bayar cicilan mobil lagi,” keluhnya.

Saya pun penasaran dan bertanya apakah mobil Nissan berwarna merah itu baru beli lagi berhubung saat ini bayar uang muka untuk kendaraan bermotor roda empat itu cukup murah.

Bapak itu pun menggelengkan kepalanya, mobil itu adalah milik orang di mana dia akan melakukan setoran dari total hasilnya mencari pelanggan lewat Grabcar. Untuk saat ini, dia memilih tetap menjadi supir Grab karena agar tetap ada penghasilan walaupun sedikit dan malah kerap rugi dibandingkan dengan menganggur.

“Intinya, di Grabcar itu kejam bagi hasilnya, bahkan biar bisa dapat uang banyak teman saya [sesama supir Grabcar] begadang sampai malam demi dapat uang lebih,”  ujarnya.

Adapun, si bapak bercerita pernah bergabung dengan Go-car. Dengan perusahaan aplikasi transportasi online saingan Grabcar itu dirinya merasa lebih nyaman dan pendapatan bagi hasil yang diraih bisa mencukupi dan bisa membayar cicilan mobilnya.

Sayangnya, masa-masa indah bapak itu bersama Go-car harus kandas karena akunnya di suspend.

“Saya enggak tahu kenapa di suspend, tidak ada alasan jelas. Hanya diberitahu kalau saya sering melakukan cancel kepada pelanggan, tetapi banyak juga teman saya lainnya banyak di suspend karena alasan tidak jelas,” ujarnya.

Adapun, dia menyebutkan, tidak mau beralih ke Uber, salah satu aplikasi jasa transportasi online lainnya, karena sistem aplikasi asal Amerika Serikat (AS) itu lebih menyiksa supirnya dari segi bagi hasil.

“Sekarang, sudah banyak teman di Grabcar dan Uber yang memutuskan untuk berhenti. Habis, untuk apalagi kalau tidak mendapatkan pendapatan yang sesuai,” ujarnya.

Selain itu, proses transaksi yang bisa dilakukan dengan Grab-pay disebut merugikan supir. Pasalnya, dengan Grab-pay, semua kebutuhan bayar tol dan parkir ditanggung supir.

“Pernah, saya dapat pesanan mau ke arah tajur, tetapi dia pakai Grab-pay. Saat itu, saya bilang sama ibunya kalau mau bayarin tolnya terlebih dulu karena saya belum dapat uang karena baru penglaris,” ceritanya.

Sayangnya, ibu itu menolak dengan alasan ketentuan dalam layanan Grab-pay tidak begitu. Akhirnya, dia meminta pelanggannya itu untuk cancel saja, cari Grabcar yang lain karena saya tidak ada uang untuk menalangi biaya tolnya, tetapi dia malah marah.

Di sisi lain, banyak cerita serupa tentang aplikasi Grabcar dan Uber. Saat perjalanan ke Muamalat Tower, teman saya bertanya kepada supirnya terkait apakah dia menggunakan semua aplikasi jasa transportasi, lalu dari ketiga itu siapa yang paling menguntungkan bagi supirnya.

Sang supir yang masih muda itu pun menjawab dari segi bagi hasil Go-car yang paling manusiawi, sedangkan dua aplikasi lainnya, Grabcar dan Uber sangat tidak manusiawi.

“Makanya, sekarang saya cuma pakai Go-car saja,” ujarnya.

Cerita tidak manusiawinya sistem bagi hasil di Grab dan Uber pun juga mejalar kepada Grabbike maupun Uber motor. Beberapa pengemudi ojek online yang saya tumpangi bercerita serupa, temannya banyak yang mau keluar dari kedua aplikasi jasa transportasi itu karena sistem bagi hasilnya yang dinilai tidak wajar atau merugikan pengemudinya.

Bapak supir Grabcar yang pertama pun berguyon, ada suatu waktu dia membawa pelanggan ibu-ibu. Pelanggan itu bertanya kepadanya, “Enak ya pak, jadi supir Grab bisa bawa Rp15 juta sampai Rp20 juta sebulan?”

Dia pun mengatakan, bagaimana caranya dapat pendapatan berpuluh-puluh juta kalau ibu saja membayar cuma Rp11.000 sampai Rp30.000 sekali jalan.

“Dulu pas awal-awal benar teman saya sempat hampir dapat Rp12 juta sebulan, tetapi itu cuma di awal. Kalau kayak begini mah emang cuma manis di awal saja,” ujarnya.

Itu sekelumit kisah keluh kesah pengemudi jasa transportasi online.

 

 

Standar
beranda, selingan

Antara Dampak Buruk dan Egoisme Penggila Rokok

Sebuah sepeda motor mengejutkanku, dia tiba-tiba berbelok dengan cepat. Saya sempat mengerem mendadak dan memaki si pengedara yang ternyata tiga orang anak tingkat Sekolah Dasar (SD).

Namun, bukan saja mengenai kendaraan bermotornya yang serampangan, saya dikejutkan oleh tiga anak SD itu yang mengendarai motor sambil menyeruput rokok. Dalam bayangan, kok bisa anak SD begitu terliterasi tentang rokok hingga bisa mengendarai sambil menikmati barang beracun tersebut.

Sebenarnya ini masalah klasik, ada beberapa pihak yang salah di sini, yakni, orang tua. Anak-anak bisa terliterasi tentang rokok karena orang tuanya kerap menyuruh beli rokok di warung.

Secara psikologis, karakter anak-anak itu adalah penuh penasaran atau penuh rasa ingin tahu. Apalagi, anggapan orang tuanya saja menikmati rokok, berarti itu bukanlah hal yang buruk dan boleh dicoba.

Alhasil, si anak-anak ini mencoba dan meresapi nikmatnya nikotin yang terkandung di dalamnya.

Lalu, pihak kedua yang bersalah adalah warung atau supemarket. Mereka tidak melarang anak-anak membeli rokok di sana, walaupun konon beberapa supermarket menerapkan membeli rokok harus menunjukkan kartu tanda penduiduk (KTP), di mana usia memiliki KTP minimal 17 tahun.

Di sisi lain, pihak warung pun tidak bisa disalahkan secara penuh, karena anak-anak itu bisa saja mengaku membeli rokok karena disuruh orang tuanya. Sayangnya, bisa saja itu sekedar alasan agar tidak dicurigai kalau dia yang akan merokok.

Sementara itu, pemerintah tampaknya masih belum terlalu keras untuk menahan laju pertumbuhan perokok aktif maupun pasif. Berbagai alasan, seperti gimmick cukai rokok berkontribusi terhadap pendapatan negara, penyerapan tenaga kerja terbesar, disebut sebagian pihak sebagai peghalang untuk menghadang perusahaan rokok.

Intermezzo, jadi ingat kisah perusahaan tambang yang baru-baru ini ditekan untuk memenuhi ketentuan peraturan. Penolakannya dilakukan dengan mengiklan di beberapa media dan menjelaskan seberapa besar kontribusinya terhadap Indonesia. Sebuah pertahanan diri cara klasik korporasi menghadapi pemerintah yang sampai saat ini masih lembek dan penakut.

Kembali ke persoalan merokok, media dan media sosial pun turut menjadi kontributor yang mendorong untuk anak-anak menyicipi rokok.

Dalam sebuah acara terakhir, ada sebuah lembaga yang menunjukkan media iklan rokok mengincar segmen anak-anak, seperti pelajar sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA), serta mahasiswa.

Apa buktinya? yakni, berupa media iklan konvensional seperti poster yang ditempel begitu banyak di daerah pendidikan. Selain itu, warung yang penuh tempelan poster rokok itu pun pastinya menjual barang konsumsi tersebut.

Belum lagi, iklan rokok yang hanya tampil di tengah malam dinilai menarik dan cukup bagus. Lalu, film-film yang menunjukkan seolah-olah dalam hidup ini harus merokok atau merokok adalah bagian dari hidup.

Selain itu, bukti rokok menjamah segmen pelajar adalah usaha keras industri rokok untuk mensponsori berbagai acara kemahasiswaan dengan berbagai cara. Pertama, karena tampil sebagai sponsor secara blak-blakan sudah dilarang, sekarang rokok masuk lewat bermain warna publikasi acara kampus.

Nantinya, ketika di acara pun akan muncul SPG-SPG berpakaian minim yang menggoda untuk menawarkan rokok. Sebuah kisah klasik yang masih berjalan sampai saat ini.

Aksi pemerintah meningkatkan cukai rokok sampai membuat gambar dampak merokok pun tidak memberikan pengaruh besar. Pasalnya, strategi pembentuk persepsi rokok sebagai bagian dari hidup jauh lebih meluas dan besar dibandingkan dengan kebijakan pemerintah tersebut.

Sementara itu, dalam kehidupan keluarga, tampaknya orang tua pun sulit menahan nafsu untuk tidak merokok di depan anaknya.

Beberapa waktu lalu, di sebuah tempat makan terbuka, ada satu keluarga yang terdiri dari empat orang. Mereka duduk dipojok tempat makan tersebut, sang ayah dan ibu menikmati rokok mereka di depan kedua anaknya.

Kedua anaknya yang sepasang, laki-laki dan perempuan itu pun terlihat tidak nyaman dengan asap rokok yang ditimbulkan dari ayah dan ibunya tersebut. Hal seperti ini bisa berdampak psikologis untuk kedua anaknya di masa depan.

Belum lagi, orang tua perokok, yang baru saja memiliki bayi. Sifat nikotin itu akan meresap atau menempel di pakaian. Meskipun, tidak merokok di depan anaknya yang masih bayi, orang tua bisa menjadi pelaku yang membuat buah hati kecilnya menjadi perkok pasif bila baju yang dikenakan sama dengan saat merokok sebelumnya lalu langsung menggendong bayinya.

Dalam tulisan ini tidak ada solusi yang tergambarkan, karena mungkin tidak ada solusi untuk memusnahkan rokok. Kecuali, ada kesadaran kalau aktivtas merokok itu menganggu dan membahayakan sekitarnya, solusi normatif yang sulit terealisasi apalagi oleh penggila rokok.

Standar