beranda, selingan

Secuil Kisah Pengemudi Jasa Transportasi Online

Mobil Nissan March berwarna merah berhenti di depan pagar rumah saya, ternyata dia adalah supir Grabcar, salah satu aplikasi layanan transportasi online, yang sudah dipesan.

“Yang ke Balai Kartini kan?” tanya pria paruh baya tersebut.

Setelah masuk ke dalam mobil dan mulai berangkat, saya pun iseng bertanya alasan data jenis dan plat mobil yang diaplikasi berbeda dengan yang sebenarnya.

Tiba-tiba bapak yang sudah cukup berpengalaman menjadi supir, terutama taksi gelap di Bandara Soekarno Hatta itu, langsung bercerita panjang.

“Cicilan mobil Avanza saya mandeg, jadi sudah ditarik leasing. Ini sistem Grabcar kejam, sulit mau balik modal buat bayar cicilan mobil lagi,” keluhnya.

Saya pun penasaran dan bertanya apakah mobil Nissan berwarna merah itu baru beli lagi berhubung saat ini bayar uang muka untuk kendaraan bermotor roda empat itu cukup murah.

Bapak itu pun menggelengkan kepalanya, mobil itu adalah milik orang di mana dia akan melakukan setoran dari total hasilnya mencari pelanggan lewat Grabcar. Untuk saat ini, dia memilih tetap menjadi supir Grab karena agar tetap ada penghasilan walaupun sedikit dan malah kerap rugi dibandingkan dengan menganggur.

“Intinya, di Grabcar itu kejam bagi hasilnya, bahkan biar bisa dapat uang banyak teman saya [sesama supir Grabcar] begadang sampai malam demi dapat uang lebih,”  ujarnya.

Adapun, si bapak bercerita pernah bergabung dengan Go-car. Dengan perusahaan aplikasi transportasi online saingan Grabcar itu dirinya merasa lebih nyaman dan pendapatan bagi hasil yang diraih bisa mencukupi dan bisa membayar cicilan mobilnya.

Sayangnya, masa-masa indah bapak itu bersama Go-car harus kandas karena akunnya di suspend.

“Saya enggak tahu kenapa di suspend, tidak ada alasan jelas. Hanya diberitahu kalau saya sering melakukan cancel kepada pelanggan, tetapi banyak juga teman saya lainnya banyak di suspend karena alasan tidak jelas,” ujarnya.

Adapun, dia menyebutkan, tidak mau beralih ke Uber, salah satu aplikasi jasa transportasi online lainnya, karena sistem aplikasi asal Amerika Serikat (AS) itu lebih menyiksa supirnya dari segi bagi hasil.

“Sekarang, sudah banyak teman di Grabcar dan Uber yang memutuskan untuk berhenti. Habis, untuk apalagi kalau tidak mendapatkan pendapatan yang sesuai,” ujarnya.

Selain itu, proses transaksi yang bisa dilakukan dengan Grab-pay disebut merugikan supir. Pasalnya, dengan Grab-pay, semua kebutuhan bayar tol dan parkir ditanggung supir.

“Pernah, saya dapat pesanan mau ke arah tajur, tetapi dia pakai Grab-pay. Saat itu, saya bilang sama ibunya kalau mau bayarin tolnya terlebih dulu karena saya belum dapat uang karena baru penglaris,” ceritanya.

Sayangnya, ibu itu menolak dengan alasan ketentuan dalam layanan Grab-pay tidak begitu. Akhirnya, dia meminta pelanggannya itu untuk cancel saja, cari Grabcar yang lain karena saya tidak ada uang untuk menalangi biaya tolnya, tetapi dia malah marah.

Di sisi lain, banyak cerita serupa tentang aplikasi Grabcar dan Uber. Saat perjalanan ke Muamalat Tower, teman saya bertanya kepada supirnya terkait apakah dia menggunakan semua aplikasi jasa transportasi, lalu dari ketiga itu siapa yang paling menguntungkan bagi supirnya.

Sang supir yang masih muda itu pun menjawab dari segi bagi hasil Go-car yang paling manusiawi, sedangkan dua aplikasi lainnya, Grabcar dan Uber sangat tidak manusiawi.

“Makanya, sekarang saya cuma pakai Go-car saja,” ujarnya.

Cerita tidak manusiawinya sistem bagi hasil di Grab dan Uber pun juga mejalar kepada Grabbike maupun Uber motor. Beberapa pengemudi ojek online yang saya tumpangi bercerita serupa, temannya banyak yang mau keluar dari kedua aplikasi jasa transportasi itu karena sistem bagi hasilnya yang dinilai tidak wajar atau merugikan pengemudinya.

Bapak supir Grabcar yang pertama pun berguyon, ada suatu waktu dia membawa pelanggan ibu-ibu. Pelanggan itu bertanya kepadanya, “Enak ya pak, jadi supir Grab bisa bawa Rp15 juta sampai Rp20 juta sebulan?”

Dia pun mengatakan, bagaimana caranya dapat pendapatan berpuluh-puluh juta kalau ibu saja membayar cuma Rp11.000 sampai Rp30.000 sekali jalan.

“Dulu pas awal-awal benar teman saya sempat hampir dapat Rp12 juta sebulan, tetapi itu cuma di awal. Kalau kayak begini mah emang cuma manis di awal saja,” ujarnya.

Itu sekelumit kisah keluh kesah pengemudi jasa transportasi online.

 

 

Standar
beranda, ruangekspresi

Sepak Sendal Di Kereta Listrik

captain-tsubasa

Waktu menunjukkan pukul 21:50 WIB, pikiran pun langsung mengingatkan agar segera bergegas ke stasiun agar tidak terlewat satu jadwal kereta listrik sebelum kereta terakhir hari itu. Namun, saya memilih jalan lain, yaitu naik ojek sampai melewati stasiun transit agar tidak mengalami drama ‘menunggu kereta terakhir.’

Sebuah keberuntungan memang, sesampainya di stasiun Grogol, sinyal kereta listrik akan masuk berbunyi. kendaraan yang akan melewati rel pun terhadang palang kayu lapuk berwarna merah dan putih.

Langkah saya percepat, nafas mulai menderu karena sudah hampir tiga bulan tidak olahraga rutin. Selaras kereta listrik tiba, saya pun masih sempat menjangkau gerbong keempat.

Suasana kereta listrik cukup sepi, wajar saat itu sudah memasuki pukul 22:25 WIB. Tampak, hanya pria tua di pojokkan gerbong empat dan dua tas ransel tanpa pemilik. Sempat berpikir macam-macam terkait ransel tanpa pemilik itu sampai ada dua anak kecil berlarian sambil tertawa duduk di samping dua ransel tersebut.

Kedua anak kecil dengan celana merah atau celana seragam sekolah dasar serta kaos biasa itu berlarian sepanjang gerbong empat. Mereka tertawa riang, seolah memanfaatkan waktu luangnya dengan bermain sepanjang perjalan pulang.

“Kami dari Duri,” ujar ketus salah satu anak ketika saya tanya, dia langsung menghampiri entah teman atau saudaranya itu untuk bermain sepakbola dengan sendal.

“Pokoknya tiangnya sendal ya, eh sendal kita cuma empat nanti bolanya apa ya?” tanya anak yang lebih kecil kepada rekannya tersebut.

Link Video

Akhirnya rekannya yang lebih tua mengambil botol minum untuk dijadikan pengganti sendal yang akan dijadikan tiang gawang. Mereka berdua pun memulai permainan sepak bola di dalam gerbong kereta listrik.

Bak Neymar hingga Cristiano Ronaldo, mereka mengolah sendal yang diimajinasikan sebaga bola tersebut.

“Goaaallll,,,, Wooyyyy Goaalllll,” sambil berteriak cukup keras, dia pun berteriak pula di depanku layaknya pencetak goal yang selebrasi di depan penontonnya.

“Eh enggak, tiang tau,” protes rekan yang lebih tuanya tersebut.

“Enggaklah Goal, Goaaaallllll,” berkukuh dia pada pendiriannya.

Tidak berlarut-larut menjadi masalah yang kian panjang, pertandingan sepak sendal pun kembali dimulai. Kini yang tua berhasil menjebol gawang. Namun, segera si anak yang lebih muda protes.

“Itu tiang, lihat sendalnya [yang jadi tiang gawang] bergerak,” ujarnya.

Lagi-lagi yang tua mengalah dan pertandingan kembali di mulai. Seraya pertandingan yang kian panas, satpam kereta listrik pun menghampiri gerbong empat tersebut.

“Eh, kalian ini disuruh diemnya susah banget ya, diem ini tempat umum,” bentak satpam dan langsung berjalan ke gerbong lainnya.

“Apaan, orang kita enggak ngapa-ngapain ya,” ngedumel si anak yang lebih kecil sambil diiyakan oleh yang lebih tua.

Setelah satpam menghilang dari gerbong empat, mereka berdua kembali memainkan sepak sendal dengan riang.

“Kami tadi abis pulang sekolah,” jawab anak yang lebih muda setelah saya tanya terkait pulang hingga selarut ini. Walaupun, jawaban itu jelas tidak memuaskan bagi saya yang sangat penasaran tentang alasan mereka berdua pulang hingga selarut.

Di tengah asik-asiknya bermain sepak sendal, kedua anak itu langsung panik mengambil tas dan sendal yang dijadikan tiang gawang. Pasalnya, keduanya sudah sampai di stasiun tujuannya yaitu Kalideres. Mereka berdua pun hilang dari pandangan saya selaras kereta listrik bergerak menuju stasiun berikutnya.

Berbagai kejadian itu, saya kembali berkukuh kalau ibukota Jakarta beserta satelitnya kekurangan lahan terbuka yang dipenuhi rumput untuk bermain anak-anak termasuk sepakbola. Pemerintah daerahnya hanya tergiur dengan godaan para pengembang yang ingin terus membangun gedung-gedung bertingkat yang terus berdampak negatif terhadap lingkungan. Uji AMDAL pun seolah hanya formalitas politis .

Di sisi lain, saya resah, untuk apa dua anak SD itu pulang hingga pukul 22:00 WIB? membantu orang tuanya bekerja atau dipekerjakan sebagai anak jalanan. Namun, itu hanya su’udzon saya, tetapi setidaknya menteri pendidikan yang anyar akhirnya membatalkan ide konyolnya yang memaksa siswa harus berada di sekolah seharian penuh.

Jpeg

Akhir cerita, saya pun akhirnya sampai di stasiun Poris pada pukul 23:00 WIB, tetapi saat itu saya menemukann sepasang sendal perempuan yang tidak ada pemiliknya.

Akhirnya saya berguyon “Mungkin sendal ini antara ketinggalan atau yang punya adalah manusia transparan,” tetapi agak konyol juga kalau sampe ketinggalan yang berarti si perempuan itu keluar stasiun dengan nyeker atau tanpa sendal.

 

Standar
beranda, selingan

Ketika “Proses” dan “Aksi” Terlupakan

Banyak celotehan dari anak muda terkait kebiasaan ’emak-emak’ menonton serial televisi setiap siang hingga sore yang turut mempengaruhi kehidupannya juga. Namun, hal serupa juga terjadi kepada anak muda yang selalu melihat tayangan di media sosial atau mesin pencari tentang negara lain pun turut mempengaruhi perilakunya.

Ditambah, periode sejak mungkin sekitar 2008 sampai saat ini bisa disebut masa-masa ‘kaget’ media sosial dan internet. Sebagian besar sekali anak muda di Indonesia hanya melakukan celotehan dan ekspresi “mengapa tidak bisa seperti di negara sebelah atau mengeluh berbagai fasilitas di Indonesia yang buruk.

Masa-masa kaget media sosial dan internet sampai saat ini pun membuat para warga produktif terutama di ibukota merasa begitu bangga menggunakan bahasa asing dalam komunikasi mereka sehari-hari. Teranyar, dalam sebuah acara yang diadakan oleh salah satu universitas swasta yang sepanjang acara menggunakan bahasa inggris. Padahal, dari segi khalayak orang Indonesia, narasumber orang Indonesia, pembuat acara orang Indoneisa, hanya ada satu orang asing di sana yaitu moderator.

Keberadaan satu orang asing yang menjadi moderator itu pun sebuah pertanyaan. “Kenapa dengan khalayak dan narsum orang Indonesia diberikan moderator orang asing?” Padahal fungsi moderator adalah membawa arus bahasan topik dalam sebuah seminar atau bincang-bincang menjadi sesuai dengan topik. Artinya, dibutuhkan keefektivitasan dan efisiensi dalam berkomunikasi agar acara bisa sukses.

Akhirnya, setengah acara berjalan saya langsung pulang dan semua khalayak di ruangan pun tampak bosan. Mungkin, para pembuat acara merasa ada kebanggaan kalau moderatornya dari jurnalis Forbes. apalagi kampus yang mengadakan acara itu condong ke ilmu ekonomi, tetapi kebanggaan atau kekerenan itu tidak akan menyukseskan acara kalau komunikasinya tidak efektif.

Di luar acara itu, dalam kehidupan media sosial kerap pula pengguna produktif di Indonesia berkomunikasi dengan cara campur bahasa antara Indonesia dengan Inggris. Lebih lucunya, ada yang heboh bercakap-cakap dengan bahasa inggris antara orang Indonesia.

“Ya namanya biar bisa makin jago bahasa inggrisnya kalau digunakan sehari-hari,” ada yang beralasan begitu. adapula yang beralasan, “ah orang sekarang mah pasti ngerti kok, kecuali yang ‘ndeso’.”

Di luar bahasa, terkait masalah transportasi massal yaitu kereta listrik Commuterline. Ada dua pandangan berbeda antara golongan muda dan tua. Untuk golongan tua, jelas kereta listrik saat ini sudah sangat nyaman dan aman sekali dibandingkan dengan eranya dulu.

Namun, beda pendapat dengan generasi muda yang beberapa menilai masih lebih baik naik kendaraan pribadi ketimbang transportasi massal yang desak-desakan tersebut. Sampai, sebelum tulisan ini dinaikkan, saya melihat di salah satu media sosial menceritakan kisah pilunya naik keret listrik yang terlalu hiperbola tampaknya.

Lalu dari video itu ada salah satu pengguna media sosial memberikan tanggapan, “Kapan transportasi massal kita enggak perlu desak-desakan senggol bacok kayak negara tetangga?”

Secara logika, mau apapun sistem transportasi massalnya di Jakarta pasti akan banyak penggunanya. Pasalnya, dari segi jumlah penduduk sudah sangat besar. Strateginya antara lain dengan diversifikasi dan sinergi antar transportasi massal yang saat ini sedang dilakukan. Ada transportasi massal yang sudah tersedia seperti kereta listrik dan transjakarta, sedangkan yang sedang berjalan MRT dan LRT.

Melihat dari dua fenomena itu saja, pada era kaget media sosial dan internet saat ini telah membuat karakter orang yang ingin terlihat lebih terpandang dengan membawa aroma luar negeri.

Selain itu juga, mendorong pemikiran pengguna candu media sosial dan internet lupa akan bagian ‘proses’ dalam sebuah perkembangan. Di bayangannya hanya ada ‘Kenapa’, tetapi tidak ada “aksi.” Dalam hal transportasi massal, perkembangan akan terjadi kalau semua sudah mulai menggunakannya. Kalau cuman menuntut hal yang bagus tanpa memulai menggunakan, yang ada perkembangannya bagai harga saham tidur yang enggak gerak-gerak.

Standar