Waktu menunjukkan pukul 21:50 WIB, pikiran pun langsung mengingatkan agar segera bergegas ke stasiun agar tidak terlewat satu jadwal kereta listrik sebelum kereta terakhir hari itu. Namun, saya memilih jalan lain, yaitu naik ojek sampai melewati stasiun transit agar tidak mengalami drama ‘menunggu kereta terakhir.’
Sebuah keberuntungan memang, sesampainya di stasiun Grogol, sinyal kereta listrik akan masuk berbunyi. kendaraan yang akan melewati rel pun terhadang palang kayu lapuk berwarna merah dan putih.
Langkah saya percepat, nafas mulai menderu karena sudah hampir tiga bulan tidak olahraga rutin. Selaras kereta listrik tiba, saya pun masih sempat menjangkau gerbong keempat.
Suasana kereta listrik cukup sepi, wajar saat itu sudah memasuki pukul 22:25 WIB. Tampak, hanya pria tua di pojokkan gerbong empat dan dua tas ransel tanpa pemilik. Sempat berpikir macam-macam terkait ransel tanpa pemilik itu sampai ada dua anak kecil berlarian sambil tertawa duduk di samping dua ransel tersebut.
Kedua anak kecil dengan celana merah atau celana seragam sekolah dasar serta kaos biasa itu berlarian sepanjang gerbong empat. Mereka tertawa riang, seolah memanfaatkan waktu luangnya dengan bermain sepanjang perjalan pulang.
“Kami dari Duri,” ujar ketus salah satu anak ketika saya tanya, dia langsung menghampiri entah teman atau saudaranya itu untuk bermain sepakbola dengan sendal.
“Pokoknya tiangnya sendal ya, eh sendal kita cuma empat nanti bolanya apa ya?” tanya anak yang lebih kecil kepada rekannya tersebut.
Akhirnya rekannya yang lebih tua mengambil botol minum untuk dijadikan pengganti sendal yang akan dijadikan tiang gawang. Mereka berdua pun memulai permainan sepak bola di dalam gerbong kereta listrik.
Bak Neymar hingga Cristiano Ronaldo, mereka mengolah sendal yang diimajinasikan sebaga bola tersebut.
“Goaaallll,,,, Wooyyyy Goaalllll,” sambil berteriak cukup keras, dia pun berteriak pula di depanku layaknya pencetak goal yang selebrasi di depan penontonnya.
“Eh enggak, tiang tau,” protes rekan yang lebih tuanya tersebut.
“Enggaklah Goal, Goaaaallllll,” berkukuh dia pada pendiriannya.
Tidak berlarut-larut menjadi masalah yang kian panjang, pertandingan sepak sendal pun kembali dimulai. Kini yang tua berhasil menjebol gawang. Namun, segera si anak yang lebih muda protes.
“Itu tiang, lihat sendalnya [yang jadi tiang gawang] bergerak,” ujarnya.
Lagi-lagi yang tua mengalah dan pertandingan kembali di mulai. Seraya pertandingan yang kian panas, satpam kereta listrik pun menghampiri gerbong empat tersebut.
“Eh, kalian ini disuruh diemnya susah banget ya, diem ini tempat umum,” bentak satpam dan langsung berjalan ke gerbong lainnya.
“Apaan, orang kita enggak ngapa-ngapain ya,” ngedumel si anak yang lebih kecil sambil diiyakan oleh yang lebih tua.
Setelah satpam menghilang dari gerbong empat, mereka berdua kembali memainkan sepak sendal dengan riang.
“Kami tadi abis pulang sekolah,” jawab anak yang lebih muda setelah saya tanya terkait pulang hingga selarut ini. Walaupun, jawaban itu jelas tidak memuaskan bagi saya yang sangat penasaran tentang alasan mereka berdua pulang hingga selarut.
Di tengah asik-asiknya bermain sepak sendal, kedua anak itu langsung panik mengambil tas dan sendal yang dijadikan tiang gawang. Pasalnya, keduanya sudah sampai di stasiun tujuannya yaitu Kalideres. Mereka berdua pun hilang dari pandangan saya selaras kereta listrik bergerak menuju stasiun berikutnya.
Berbagai kejadian itu, saya kembali berkukuh kalau ibukota Jakarta beserta satelitnya kekurangan lahan terbuka yang dipenuhi rumput untuk bermain anak-anak termasuk sepakbola. Pemerintah daerahnya hanya tergiur dengan godaan para pengembang yang ingin terus membangun gedung-gedung bertingkat yang terus berdampak negatif terhadap lingkungan. Uji AMDAL pun seolah hanya formalitas politis .
Di sisi lain, saya resah, untuk apa dua anak SD itu pulang hingga pukul 22:00 WIB? membantu orang tuanya bekerja atau dipekerjakan sebagai anak jalanan. Namun, itu hanya su’udzon saya, tetapi setidaknya menteri pendidikan yang anyar akhirnya membatalkan ide konyolnya yang memaksa siswa harus berada di sekolah seharian penuh.
Akhir cerita, saya pun akhirnya sampai di stasiun Poris pada pukul 23:00 WIB, tetapi saat itu saya menemukann sepasang sendal perempuan yang tidak ada pemiliknya.
Akhirnya saya berguyon “Mungkin sendal ini antara ketinggalan atau yang punya adalah manusia transparan,” tetapi agak konyol juga kalau sampe ketinggalan yang berarti si perempuan itu keluar stasiun dengan nyeker atau tanpa sendal.